Sabtu, Agustus 02, 2008

Friday Night Lights


Drama olahraga adalah sesuatu yang sukar saya tampik, tinjauan dengan pujian dari situs terpercaya apalagi. Maka dari itu, serial Friday Night Lights yang memenuhi dua kriteria di atas jelas menggoda buat disaksikan. Bagi Anda yang juga gemar menonton film bertema olahraga, barangkali Anda pernah mendengar film layar lebar (dibintangi antara lain oleh Billy Bob Thornton) Friday Night Lights. Serial ini memang diangkat dari film tersebut, di mana filmnya juga mengambil kisah dari buku berjudul sama. Friday Night Lights sampai sekarang baru ditayangkan dua musim dan musim ketiganya sedang dalam proses pembuatan. Serial ini sudah membuktikan kualitasnya dengan masuk dalam daftar yang dipertimbangkan untuk nominasi Emmy Award tahun ini dan dinominasikan untuk kategori kasting serial drama terbaik.

Friday Night Lights dibuka dengan gegap gempitanya penduduk Dillon, sebuah kota kecil (fiktif, tak usah dicari di peta) di Texas menyambut pertandingan perdana tim futbol SMA kesayangan mereka, Dillon Panthers. Orang-orang Dillon ini bak kena demam futbol yang sudah mentradisi, nyaris sampai tingkat obsesi malah. Tim Panthers kali ini didukung materi pemain yang cemerlang amat diharapkan bisa menjuarai kompetisi tingkat negara bagian, meski dipimpin oleh pelatih utama wajah baru Eric Taylor (Kyle Chandler). Namun, apa lacur baru pertandingan pertama asa mesti terempas lantaran gelandang (quarterback) tumpuan tim, Jason Street (Scott Porter), mengalami cedera permanen yang menjadikannya quadriplegia. Dari sinilah cerita bergulir. Pelatih Taylor harus berusaha keras mengembalikan semangat dan keperkasaan timnya, sekaligus berurusan dengan tokoh-tokoh masyarakat Dillon yang doyan ikut campur urusan melatih. Belum lagi masalah demi masalah senantiasa bermunculan, baik dari dalam tim maupun dari orang-orang signifikan mereka. Anggota tim yang menjadi tokoh utama dalam Friday Night Lights adalah Smash Williams (Gaius Charles), runningback kulit hitam penyuka rap dengan ego sebesar Texas yang beberapa kali bikin tindakan bodoh, Matt Saracen (Zach Gilford), quarterback pengganti Street, pemuda baik rada pecundang yang mesti masuk ke dalam peran tipikal gelandang futbol, dan Tim Riggins (Taylor Kitsch), pemain fullback, berandalan murung yang gemar minuman keras dan tubuh perempuan. Lyla Garrity (Minka Kelly), gadis manis bekas pacar Street, Tyra Collette (Adrianne Palicki) gadis binal yang bermimpi keluar dari Dillon, serta putri pelatih, Julie (Aimee Teegarden) juga turut meramaikan cerita. Beruntung pelatih punya istri merangkap guru BP di SMA Dillon yang cerdas dan empatik, Tami (Connie Britton yang dapat peran sama di versi film).

Kritik yang sering dilontarkan orang pada Friday Night Lights adalah sinematografi yang dibikin seperti film dokumenter atau reality show, yakni kamera tangan mengikuti pemain. Gambar yang dihasilkan memang bikin mata tidak nyaman kalau belum biasa, akan tetapi di sisi lain justru gaya demikian itulah yang menjadikan pemirsa dapat sungguh-sungguh masuk dalam kota Dillon, mengamati setiap penduduknya yang disorot dari dekat. Menyaksikan Friday Night Lights, penonton dibawa untuk merasakan setiap tetes keringat, perjuangan, air mata dan akhirnya bersorak gembira ketika Dillon menang. Dan pelajaran yang didapat memang tak cuma tentang futbol, tetapi juga mengenai hidup. Ini benar, tidak perlu mengerti futbol untuk bisa menyukai Friday Night Lights. Cerita yang mengalir dengan karakter tokoh yang kuat dan realistis merupakan kunci keberhasilan serial ini memikat penontonnya. Telinga pun ikut dimanja dengan musik latar yang digarap band instrumental rock Explosions in The Sky yang juga mengerjakan versi filmnya. Musiknya kadang mendayu, kadang menderap meningkahi adegan. Buat penyuka film bertema olahraga, tidak ada salahnya mencoba serial ini.

Tidak ada komentar: