Sabtu, Agustus 30, 2008

Dark Angel


Saya merasa diri saya seorang realis, sehingga konsekuensinya saya tidak tertarik pada segala yang berbau fiksi sains dan horor. Buat saya, dua genre tersebut termasuk nanggung. Nyata tidak, tidak nyata juga tidak. Jadi, saya mesti mengakui bahwa saya adalah korban pikatnya Jensen Ackles tatkala saya membeli DVD dua musim serial Dark Angel, setelah saya menggandrungi Supernatural, yang notabene juga dibintangi olehnya. Bila Supernatural meruntuhkan sikap antihoror saya (setidaknya untuk serial itu), Dark Angel membawa saya mencicipi rasa fiksi sains yang diracik oleh James Cameron, yang sayangnya tidak bertahan lama di percaturan serial teve Amerika.

Dark Angel (atau juga dikenal sebagai James Cameron's Dark Angel) berlatar situasi di masa depan yang tak terlalu jauh dari masa serial itu diputar, sekitar tahun 2001-2002. Alkisah, tahun 2009, selusin anak kabur dari markas percobaan rahasia pemerintah AS, Manticore. Anak-anak yang melarikan diri itu bukan manusia biasa, mereka adalah manusia transgenik hasil rekayasa genetik yang diracik di laboratorium dengan segala keunggulan untuk dijadikan prajurit super, senjata berupa manusia. Salah satu dari yang kabur itu adalah Max (atau nama tandanya X5-452, bisa dikenali dari kode bar di tengkuknya), diperankan oleh Jessica Alba. Dark Angel adalah kisahnya, bagaimana dia dan para transgenik (yang berhasil lolos dari Manticore) mesti kucing-kucingan. Pertama dengan pihak Manticore yang ingin menawan kembali mereka, selanjutnya dengan manusia biasa yang telanjur menganggap transgenik aneh dan berbahaya. Max juga bertemu Logan Cale (Michael Weatherly) yang punya alter ego Eyes Only, sosok yang senantiasa berupaya memperjuangkan keadilan di dunia yang kian suram. Keduanya lantas berjuang bersama dan menjalin kasih. Sederet tokoh sampingan juga memeriahkan serial ini, seperti bos Max yang sok galak, Normal (J.C. MacKenzie), teman sekamar Max yang setia, Original Cindy (Valarie Rae Miller), rekan kerja Max, Sketchy (Richard Gunn) plus transgenik manusia-anjing, Joshua (Kevin Durand). Lha, Jensennya mana? Dia masuk di musim kedua sebagai Alec (X5-494), yang meski awalnya menjebak Max, tapi ujung-ujungnya jadi comrade in arms.

Serial fiksi sains ini menawarkan cerita tentang petualangan para transgenik (dan teman-temannya) dengan latar yang unik, kota Seattle tahun 2019-2020, suatu era setelah Amerika diserang teroris dengan gelombang elektromagnetik yang merontokkan semua sistem yang pernah dimiliki negara itu. Seattle yang digambarkan dalam Dark Angel bukanlah metropolitan futuristik seperti yang kita bayangkan, tetapi kota kumuh, kusut, kacau, miskin, dan diawasi dengan represif dan curiga. Kota di mana hukum rimba lebih kerap berlaku. Dark Angel mencoba menghadirkan gambaran yang mungkin tentang Amerika, yang malah jadi mundur alih-alih maju. Kemudian, di sisi cerita, sebenarnya ide yang dimunculkan menarik, tapi eksekusinya tidak selalu demikian. Kadang, setting dan plot yang ada kurang ditunjang oleh akting para artisnya. Jessica Alba saya rasa kurang dalam mengeksplorasi karakter Max yang sesungguhnya cukup kuat. Sebaliknya, meski karakternya agak membosankan, Michael Weatherly berakting wajar. Untung ada tambahan Jensen Ackles dan Kevin Durand di musim kedua. Selain menghembuskan nafas komedi di serial yang cenderung gelap ini, keduanya memainkan karakter yang menyegarkan. Serial ini seperti yang sudah saya sebut di awal memang hanya bertahan dua musim, kemungkinan disebabkan masalah rating dan anggaran. Dan episode finalnya pun masih mengandung tanda tanya besar, pertanyaan yang bisa dijawab kalau Anda membaca novel lanjutan (dan prekuelnya) yang ditulis oleh Max Allan Collins.

Senin, Agustus 25, 2008

Supernatural


Serial paling dianggap remeh (underrated) dan serial horor yang sanggup memikat kalangan nonpenggemar horor, itu adalah dua sentimen yang kerap terdengar (atau terbaca) dilontarkan oleh fans serial Supernatural. Dan secara pribadi, saya sependapat. Saya termasuk orang yang tidak tertarik (bukan takut) bahkan buat sekedar menyenggol genre horor, tapi bisa tergila-gila pada Supernatural yang dari judulnya saja sudah jelas kental nuansa mistis-horornya. Mengapa bisa demikian? Saya kira itu ada hubungannya dengan sentimen pertama, yang mengimplikasikan kualitas Supernatural, yang lebih dari serial horor biasa.

Supernatural di Indonesia pernah ditayangkan secara stripping oleh Trans7. Dua musim secara lengkap (dan agak mengejutkan) diputar secara lengkap di stasiun teve tersebut dan kini di AS para fans tengah menanti penayangan episode pembuka musim keempat, September nanti. Tampaknya selain kelarisan serial ini di negara asalnya, faktor tema alam gaib juga yang membuat serial ini bisa diputar di sini. Sesuai dengan titelnya, serial ini menu utamanya adalah hal-hal yang seringkali tak dapat diterima akal sehat, jauh dari "normal" (bukan natural, sebenarnya), horor, gaib dan mistis. Namun, berbeda dengan sinetron (atau film) horor model Indonesia, Supernatural tidak hanya menjual cerita seram dan efek khusus. Serial ini memiliki plot yang tereksekusi dengan baik, akting pemain yang meyakinkan, drama yang menyuguhkan perkembangan dan hubungan antar karakter, serta percikan dagelan di sana-sini.

Kisah Supernatural dimulai jauh dua puluh tahun yang lalu, ketika keluarga Winchester kehilangan sosok ibu yang mati misterius. Cerita langsung melompat membawa kita pada dua dekade kemudian di mana putra bungsu Winchester, Sam (Jared Padalecki) yang mau masuk sekolah hukum dikejutkan oleh kemunculan kakaknya, Dean (Jensen Ackles). Dean butuh bantuan Sam untuk mencari ayah mereka yang hilang sejak pergi berburu makhluk gaib. Dari situlah kedua saudara yang bertolak belakang karakternya itu kemudian menjadi tim pemburu yang kompak, mengikuti jejak sang ayah. Menyelamatkan orang, memburu setan, itulah gambaran ringkas perjalanan Dean dan Sam. Namun, jalan untuk membasmi setan jahat dan membalas dendam ibu mereka amatlah berliku dan kedua bersaudara itu mesti menghadapi lebih banyak lagi tragedi dalam hidup mereka. Tragedi yang menorehkan warna gelap di jiwa mereka, yang memunculkan lebih banyak pertanyaan untuk setiap satu pertanyaan yang terjawab.

Mungkin orang menuduh alasan sebagian orang (wanita) menonton serial ini adalah karena pasangan bintang utamanya yang punya sosok begitu sedap dipandang. Namun, akting mereka ternyata tidak mengecewakan. Banyak yang beranggapan Jared dan Jensen merupakan pemeran pasangan bersaudara dengan karakter tiga dimensi yang chemistry-nya paling terasa di layar. Kemudian, Supernatural adalah serial horor dengan riset yang memadai. Sosok gaib yang ditampilkan sering merupakan legenda urban Amerika atau berdasar pada mitologi dan Injil. Maniak horor sejati mungkin akan mengkritik Supernatural kurang seram atau menggigit, itu boleh jadi karena horor dalam Supernatural bukanlah inti serial. Bagi saya, Supernatural lebih cenderung sebagai suatu serial tentang perjalanan ketimbang horor, barangkali karena sang kreator, Eric Kripke menggemari tahapan Hero's Journey-nya Joseph Campbell. Yang jelas, secara pribadi saya menyukai serial ini, yang mampu mengupas tentang keluarga dan nilai-nilai kehidupan, serta menawarkan refleksi.

Tinjauan musim keempat serial ini bisa dilihat di sini

Sabtu, Agustus 02, 2008

Friday Night Lights


Drama olahraga adalah sesuatu yang sukar saya tampik, tinjauan dengan pujian dari situs terpercaya apalagi. Maka dari itu, serial Friday Night Lights yang memenuhi dua kriteria di atas jelas menggoda buat disaksikan. Bagi Anda yang juga gemar menonton film bertema olahraga, barangkali Anda pernah mendengar film layar lebar (dibintangi antara lain oleh Billy Bob Thornton) Friday Night Lights. Serial ini memang diangkat dari film tersebut, di mana filmnya juga mengambil kisah dari buku berjudul sama. Friday Night Lights sampai sekarang baru ditayangkan dua musim dan musim ketiganya sedang dalam proses pembuatan. Serial ini sudah membuktikan kualitasnya dengan masuk dalam daftar yang dipertimbangkan untuk nominasi Emmy Award tahun ini dan dinominasikan untuk kategori kasting serial drama terbaik.

Friday Night Lights dibuka dengan gegap gempitanya penduduk Dillon, sebuah kota kecil (fiktif, tak usah dicari di peta) di Texas menyambut pertandingan perdana tim futbol SMA kesayangan mereka, Dillon Panthers. Orang-orang Dillon ini bak kena demam futbol yang sudah mentradisi, nyaris sampai tingkat obsesi malah. Tim Panthers kali ini didukung materi pemain yang cemerlang amat diharapkan bisa menjuarai kompetisi tingkat negara bagian, meski dipimpin oleh pelatih utama wajah baru Eric Taylor (Kyle Chandler). Namun, apa lacur baru pertandingan pertama asa mesti terempas lantaran gelandang (quarterback) tumpuan tim, Jason Street (Scott Porter), mengalami cedera permanen yang menjadikannya quadriplegia. Dari sinilah cerita bergulir. Pelatih Taylor harus berusaha keras mengembalikan semangat dan keperkasaan timnya, sekaligus berurusan dengan tokoh-tokoh masyarakat Dillon yang doyan ikut campur urusan melatih. Belum lagi masalah demi masalah senantiasa bermunculan, baik dari dalam tim maupun dari orang-orang signifikan mereka. Anggota tim yang menjadi tokoh utama dalam Friday Night Lights adalah Smash Williams (Gaius Charles), runningback kulit hitam penyuka rap dengan ego sebesar Texas yang beberapa kali bikin tindakan bodoh, Matt Saracen (Zach Gilford), quarterback pengganti Street, pemuda baik rada pecundang yang mesti masuk ke dalam peran tipikal gelandang futbol, dan Tim Riggins (Taylor Kitsch), pemain fullback, berandalan murung yang gemar minuman keras dan tubuh perempuan. Lyla Garrity (Minka Kelly), gadis manis bekas pacar Street, Tyra Collette (Adrianne Palicki) gadis binal yang bermimpi keluar dari Dillon, serta putri pelatih, Julie (Aimee Teegarden) juga turut meramaikan cerita. Beruntung pelatih punya istri merangkap guru BP di SMA Dillon yang cerdas dan empatik, Tami (Connie Britton yang dapat peran sama di versi film).

Kritik yang sering dilontarkan orang pada Friday Night Lights adalah sinematografi yang dibikin seperti film dokumenter atau reality show, yakni kamera tangan mengikuti pemain. Gambar yang dihasilkan memang bikin mata tidak nyaman kalau belum biasa, akan tetapi di sisi lain justru gaya demikian itulah yang menjadikan pemirsa dapat sungguh-sungguh masuk dalam kota Dillon, mengamati setiap penduduknya yang disorot dari dekat. Menyaksikan Friday Night Lights, penonton dibawa untuk merasakan setiap tetes keringat, perjuangan, air mata dan akhirnya bersorak gembira ketika Dillon menang. Dan pelajaran yang didapat memang tak cuma tentang futbol, tetapi juga mengenai hidup. Ini benar, tidak perlu mengerti futbol untuk bisa menyukai Friday Night Lights. Cerita yang mengalir dengan karakter tokoh yang kuat dan realistis merupakan kunci keberhasilan serial ini memikat penontonnya. Telinga pun ikut dimanja dengan musik latar yang digarap band instrumental rock Explosions in The Sky yang juga mengerjakan versi filmnya. Musiknya kadang mendayu, kadang menderap meningkahi adegan. Buat penyuka film bertema olahraga, tidak ada salahnya mencoba serial ini.

Jumat, Agustus 01, 2008

The Magnificent Seven


Serial yang boleh dibilang lawas ini mendapat kehormatan menjadi yang pertama saya ulas di sini. The Magnificent Seven sejatinya merupakan versi televisi dari film tahun 1960-an berjudul serupa (dibintangi antara lain oleh Yul Brynner), sementara film tersebut adalah versi barat Seven Samurai-nya Akira Kurosawa. The Magnificent Seven pernah diputar SCTV sekitar tahun 2000, dua tahun setelah penayangannya di AS. Serial dua musim ini punya riwayat yang cukup unik. Ceritanya, setelah jalan satu musim sebetulnya serial ini sempat mau dihentikan. Namun, fans fanatik serial bergenre western ini menggalang dukungan, bikin petisi dan iklan yang intinya memaksa produser dan petinggi stasiun teve untuk melanjutkan serial kesayangan mereka. Dan jadilah, The Magnificent Seven akhirnya dibuat satu musim lagi. Jadi, jangan remehkan kekuatan fans.

Episode pertama (pilot) The Magnificent Seven plotnya mirip dengan versi filmnya. Berkisah tentang tujuh pria yang diminta untuk membantu sebuah desa bertahan dari serangan orang-orang jahat. Kalau di film ceritanya putus sampai di situ, di serial tujuh orang itu malah menjadi penjaga keamanan di sebuah kota kecil (yang sepanjang serial tak pernah disebut namanya) tanpa hukum tipikal daerah barat Amerika pada masa itu setelah mereka mengesankan Hakim Federal Orin Travis. Ketujuh pria yang merupakan karakter utama serial ini adalah Chris Larabee (Michael Biehn, bintang Terminator), Vin Tanner (Eric Close, sekarang main di Without A Trace), Ezra Standish (Anthony Starke, akhir-akhir ini suka muncul sekilas di beberapa serial top seperti House), JD Dunne (Andrew Kavovit), Nathan Jackson (Rick Worthy), Buck Wilmington (Dale Midkiff, bintang Time Trax), dan Josiah Sanchez (Ron Perlman, film terbarunya Hellboy 2).

Salah satu daya tarik The Magnificent Seven adalah dinamika interaksi antara tujuh tokoh utamanya yang punya karakter berbeda dan kadang begitu kontras sampai menimbulkan potensi konflik. Coba disimak, Chris seorang pendekar berpistol yang terobsesi mencari pembunuh anak-istrinya, Buck sobatnya yang setia dan penggemar perempuan, Vin penembak jitu dan pelacak jejak yang jadi buronan atas pembunuhan yang tak dilakukannya, Ezra adalah penjudi dan artis penipu profesional, pria yang sebetulnya lebih baik dari yang tampak dari luar. Kemudian ada JD si anak bawang, Nathan yang bekas budak kini penyembuh, serta Josiah mantan pendeta yang mencari penebusan. Bisa dibilang tujuh orang itu tak ada mirip-miripnya, kecuali dalam soal menegakkan keadilan dan masa lalu yang kelam. Namun, mereka dapat menjadi satu tim yang solid bila ada situasi mengancam (yang muncul di setiap episode tentu saja).

Bagi saya, The Magnificent Seven adalah salah satu serial bergenre western terbaik yang pernah saya lihat. Karakter utama yang menarik, ramuan cerita yang memadukan drama, komedi dan aksi merupakan kekuatan serial ini. Memang di sana-sini terdapat kekurangan, seperti masalah akurasi sejarah, banyaknya tokoh utama membuat cerita kadang kurang fokus dan para pemeran yang dianggap terlalu "manis" untuk jadi koboi daerah barat era abad sembilan belas. Namun, saya pribadi dapat memaafkan kekurangan tersebut mengingat The Magnificent Seven adalah serial bagus tentang mempertahankan moral, keadilan, dan kemanusiaan di dunia yang gersang dan keras. The Magnificent Seven adalah kisah tentang jiwa yang tertempa oleh masa lalu yang keras dan berliku, yang mendambakan penebusan, yang terlengkapi dengan adanya teman sejalan. Dan kita bisa menikmati petualangan tujuh koboi itu dilatari musik orkestra yang sedap dari Elmer Bernstein, yang komposisinya untuk lagu pembuka serial ini sudah tidak asing lagi karena dipakai sebagai lagu iklan Marlboro.

Mengapa Sinetron Barat?

Ya, mengapa saya suka menonton serial Barat, memutuskan untuk menulis blog tentang itu, apa saja isinya dan menamainya dengan "Sinetron Barat"?

Kesukaan saya pada serial Barat sebenarnya sudah bermula sejak saya masih kanak-kanak, ketika dahulu stasiun teve di Indonesia baru satu biji dan stasiun tersebut menayangkan Full House, Fun House, Little House on The Prairie, dan Bonanza. Kemudian, lambat laun bermunculan aneka stasiun teve swasta dan saya nikmati pula Knight Rider, Airwolf, TJ Hooker, Superboy, Time Trax, Charmed, Friends, dan sebagainya. Sampai pada suatu masa tatkala seluruh stasiun teve kehilangan akal warasnya dan membanjiri jam tayangnya dengan produk sinetron sampah, menyisakan satu-dua judul serial Barat saja yang itupun diputar pada jam-jam yang cuma orang insomnia atau jaga malam yang masih bangun. Jemu dan lelah mengkritik (atau mencaci maki) sinetron dan stasiun teve secara umum, saya pilih untuk tetap mendapatkan hiburan yang lebih berkualitas dengan menyewa saja DVD (bajakan) serial Barat yang beredar di rental. Nah, sebetulnya dalam soal DVD ini ada unsur self defense juga. Saya yang baru dibelikan pemutar DVD kesal lantaran DVD bajakan film jarang dilengkapi subtitel bahasa Inggris yang memadai, padahal keutuhan suatu karya penting bagi saya. Kala menyadari bahwa DVD serial Barat bisa dikatakan sembilan puluh persen bersubtitel baik, saya pun beralih ke sana. Dan setia sampai sekarang, sampai-sampai saat ini saya lebih paham perkembangan serial Barat ketimbang film.

Sudah saya implikasikan di atas bahwa saya menyukai serial Barat karena secara kualitas lebih baik dibandingkan sinetron lokal kita. Selain itu, saya bisa belajar mengenai kebudayaan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat di belahan dunia seberang. Menonton serial Barat juga bagus untuk belajar listening dan tentu saja memperkaya kosakata slang. Buat saya yang bisa dibilang kurang pergaulan, menyaksikan serial Barat merupakan cara saya mempelajari karakter manusia. Pendek kata, ada banyak alasan mengapa saya suka serial Barat dan setiap serial bagus yang saya tonton menyumbangkan lebih banyak alasan lagi.

Sekarang, mengapa saya lantas menulis blog tentang serial Barat? Alasannya sederhana, saya ingin kecintaan saya pada serial Barat bisa menular pada orang lain dan saya berharap saya tidak sendiri dalam hal ini. Blog ini akan berisi tinjauan tentang macam-macam serial Barat yang sudah pernah saya tonton, mungkin beberapa tulisan tentang topik yang bersangkutan. Dasar penulisan saya adalah opini retrospektif yang sangat subjektif sehingga saya tidak berharap Anda sekalian akan setuju seratus persen. Dan Anda saya undang untuk berkomentar, mengkritik dan secara umum mendiskusikan serial Barat. Terakhir, mengapa blog ini dinamai "Sinetron Barat"? Sederhana, pada dasarnya serial Barat itu juga adalah sinetron, sinema yang menggunakan media elektronik. Ia terdiri dari episode-episode, cerita yang bersambung dan ditayangkan di televisi. Cuma dibandingkan dengan sinetron kita, serial Barat lebih terencana dan realistis. Jadi, saya rasa tak keliru menjuduli blog ini "Sinetron Barat".