Jumat, November 21, 2008

Penggambaran Indonesia dalam (Beberapa) Serial Televisi Amerika

Hal yang menggelitik saya untuk menulis ini adalah beberapa judul serial yang pernah saya saksikan, yang membawa-bawa Indonesia ke dalam adonan plotnya. Marilah kita lihat satu per satu.

Serial pertama yang akan dibahas adalah The West Wing, drama politik tentang presiden fiktif Bartlett (kalau tak salah, saya bukan fans serial ini, cuma lihat satu episode lantaran ada unsur Indonesianya) dan intrik politik Gedung Putih, lengkap dengan segala model politikus dan birokrat. Di satu episode dikisahkan ada kunjungan dari Presiden RI ke Amerika. Presiden (fiktif) kita ini digambarkan sebagai orang yang membosankan, sampai si presiden Amerika berkata (setengah serius, setengah bercanda), "Bagaimana orang Indonesia bisa pilih dia jadi presiden?"

Serial kedua adalah The Unit. Serial yang diangkat dari buku "Inside Delta Force" ini menyuguhkan kehidupan para anggota pasukan khusus tentara Amerika dengan segala misi-misi rahasianya, juga bagaimana para wanita pendamping mereka menghadapi dunia militer yang kerap kejam. Salah satu episodenya bercerita tentang seorang anggota pasukan khusus yang dikirim ke Indonesia untuk membebaskan warga Amerika (semacam penginjil atau relawan muda) yang ditawan gerombolan separatis...bukan di Indonesia Timur, melainkan di Medan.


Serial ketiga berjudul Sleeper Cell, yang intinya mengupas lika-liku agen FBI yang menyusup dalam organisasi Islam radikal di Amerika. Dalam menjalankan salah satu agendanya, diceritakan pimpinan organisasi tersebut menggunakan seorang mahasiswa Indonesia yang tengah kuliah di Amerika, kalau saya tak salah tangkap untuk membuat sebangsa senjata biologis.

Sebagai orang Indonesia yang muslim, saya sama sekali tak mengelak bahwa di negeri saya memang kerap terjadi kerusuhan dan masalah. Ada orang-orang yang disebut teroris di sini, kaum yang mengaku berjihad meskipun mereka sebetulnya menyalahi jihad yang sesungguhnya. Namun, apakah semua orang Indonesia seperti yang digambarkan di serial-serial itu?

Satu hal yang paling bikin jengkel adalah akurasi hal-hal yang digambarkan di serial itu dengan keadaan yang lazim di Indonesia. Barangkali para penulis naskahnya kurang riset. Seperti di The Unit dan The West Wing kesalahan yang cukup fatal terletak pada penamaan karakter berlatar Indonesianya. Untuk Sleeper Cell, okelah, nama Eddy Pangetsu bisa dibilang mirip, paling silabel terakhir itu keliru ketik. Selanjutnya, lagi-lagi The Unit dan The West Wing menampilkan orang "Indonesia" yang sama sekali tak tampak trah Melayu-nya, melainkan terlihat seperti orang Cina! Sementara Sleeper Cell memasukkan aktor dengan tampang yang bisalah dibilang orang Indonesia. The Unit adalah satu-satunya yang menampilkan lokasi di "Indonesia" lengkap dengan penduduk "lokal"-nya. Untuk urusan bahasa terbilang lumayan (meski para pelakon bertampang Cina itu rada kagok berdialek Melayu), dan saya tak bisa komentar untuk setting-nya lantaran saya jarang menginjak pedesaan, tapi itu cukuplah. Meski waktu melihat setting-nya ada sesuatu di kepala saya yang memekikkan, "Ini bukan negara saya."

Tiga serial tersebut kemungkinan ditonton oleh jutaan pasang mata di Amerika. Berarti, segala hal negatif yang digambarkan tentang negeri kita ini juga disaksikan oleh mereka, barangkali mengendap di benak mereka, dan buat orang-orang yang buta berita, gambaran itulah yang mereka jadikan pedoman untuk menentukan kesan tentang Indonesia. Hm, tidak hanya di siaran berita internasional kita terlihat buruk, tapi di serial yang notabene fiktif juga ternyata.

PS: untuk alasan yang tidak dapat saya jelaskan, ketika Jensen Ackles di salah satu episode Supernatural menyebut "Bali", saya girang bukan kepalang. Dan sebagai tambahan di salah satu episode musim kelima serial NCIS disebutkan nama Indonesia sebagai salah satu negara yang di situ pernah terjadi peledakan bom oleh pedagang senjata. Selanjutnya, di satu episode musim ketiga Dexter, ada monolog sejarah singkat mengapa kopi bisa tumbuh di Jawa dan sang tokoh mengendus aromanya dengan nikmat. Terakhir, di episode penutup musim kelima serial Bones, Dr. Brennan pergi ke Maluku untuk jadi kepala tim ekspedisi arkeologi.

Senin, Oktober 27, 2008

Subtitel

Tulisan ini ditujukan pada Anda yang doyan menonton DVD bajakan (baik tayangan layar perak maupun layar teve alias serial), tapi kerap menggerutu karena meskipun gambarnya apik, subtitelnya kacau beliau dan kemampuan Anda mendengarkan dalam bahasa Inggris kurang memadai, padahal Anda orang yang mementingkan keutuhan dialog. Seperti saya.

Saya kadang bingung harus menyumpahi atau bersyukur pada para pembajak DVD yang mengedarkan produknya di wilayah Indonesia. Kecepatan mereka mendapatkan film dan serial terbaru memang perlu diapresiasi, terutama oleh kalangan yang getol mengikuti perkembangan hiburan mancanegara dan ingin selalu mendapat tontonan yang up to date nan murah meriah. Namun, acap kali kualitas produk mereka (namanya juga bajakan) bikin saya geleng kepala, khususnya masalah subtitel.

Akhir-akhir ini serial teve Barat yang beredar dalam bentuk DVD bajakan di Indonesia mengalami perubahan format. Dahulu, serial dibajak dan diedarkan bila sudah menuntaskan satu musim tayang. Namun, saat ini setiap dua sampai empat episode ditayangkan di negara asalnya, satu keping DVD bajakannya sudah bisa ditemukan di rental dan kios. Jadi jangan heran kalau satu musim serial dengan jumlah episode antara 22-24 yang dulu dimuatkan dalam 6-7 keping DVD, sekarang bisa sampai 10 keping (season 1a, 1b, dst.). Model pembajakan macam begini tentu memiliki konsekuensi pada kualitas subtitel yang diberikan. Sering saya temui, minimal satu episode dalam satu keping DVD yang subtitelnya kacau. Ini tentu menjengkelkan, tetapi saya berupaya untuk mengakalinya.

Ada dua cara yang biasa saya pakai untuk mengatasi masalah di atas. Pertama, menggunakan peranti lunak penampil subtitel yang independen dari pemutar DVD, yang saya gunakan sekarang adalah DVD Subtitle Player. Peranti lunak ini memainkan file subtitel yang ada di komputer secara transparan di atas tampilan video yang diputar. Kekurangannya adalah sekali Anda memutar DVD dan subtitle player, harus nonton sampai kelar, soalnya kalau diputus di tengah, Anda mesti mengatur lagi kecocokan jalannya teks dengan video. Ini rada merepotkan kalau Anda belum biasa.

Cara yang kedua, gunakan pemutar media yang bisa memainkan subtitel dari luar sumber media yang dimainkan. Yang saya pakai sekarang adalah Gom Player. Peranti lunak ini otomatis mencari subtitel di folder asal video, tapi memungkinkan Anda untuk memainkan subtitel dari folder lainnya. Dengan Gom Player, Anda bisa menonton seperti biasa, tidak khawatir bila perlu memutus di tengah karena jalannya subtitel sudah disinkronisasi otomatis dengan video. Kalau subtitel dirasa terlalu lambat atau cepat, Anda bisa mengaturnya secara manual.

Nah, sekarang dari mana Anda bisa mendapatkan file subtitel? Dari pengalaman saya, ada dua situs yang kualitasnya lumayan, yaitu tvsubtitles.net dan subscene.com. Subtitel bisa diperoleh paling cepat sehari setelah episode yang dimaksud ditayangkan di negara asalnya, tapi biasanya kalau Anda menunggu beberapa hari, versi yang sudah diedit dan kualitasnya lebih baik akan muncul. Tentu saja jangan mengharapkan subtitel dalam bahasa Indonesia, kecuali Anda mau membuatnya sendiri.

Selamat menikmati DVD bajakan Anda dengan lebih nyaman.

Selasa, Oktober 21, 2008

Psych

Cenayang bohongan yang menjadi tema serial ini sebetulnya merupakan fenomena yang jamak terjadi di Indonesia. Cuma kalau di negeri kita yang banyak terdengar adalah cerita-cerita kriminal getir tentang dukun palsu yang mengibuli korban habis-habisan (sampai dihabisi pula, kadang), sementara sosok yang mengaku cenayang di serial Psych setidaknya doyan ikut campur memecahkan kasus-kasus kriminal, walaupun polahnya tak senantiasa positif juga.

Serial yang sedang jalan musim ketiganya ini ada yang menyebutnya sebagai versi parodi dari serial Monk yang ditayangkan oleh jaringan stasiun televisi yang sama, USA Network. Saya kira sebutan itu tidak salah, soalnya meski ada beberapa elemen yang mirip, Psych terkesan lebih santai dan ringan dibandingkan dengan Monk. Istilahnya, serial berondong jagung yang renyah dikunyah, tetapi kurang substansial.

Psych mengisahkan tentang dua sahabat, Shawn Spencer (James Roday) dan Burton Guster (Dule Hill) yang mendirikan biro detektif cenayang. Gara-garanya suatu hari Shawn untuk kesekian kalinya memberi petunjuk tentang perkara kriminal dan polisi malah jadi curiga padanya. Untuk mengelakkan tuduhan polisi, Shawn mengaku dirinya punya indera keenam, alias cenayang, padahal kemampuan yang dimiliki aslinya adalah ketajaman memori, deduksi dan persepsi sensori luar biasa yang dilatihkan sang ayah yang mantan polisi sejak dini. Berbekal "kecenayangan" dan biro yang mereka dirikan, Shawn dan Gus bersama-sama membantu (dan juga merecoki) kerja polisi menyelidiki berbagai macam kasus.

Menurut saya, masalah paling mendasar pada serial ini adalah temanya. Baiklah, ide bahwa Shawn bisa meyakinkan orang bahwa dia cenayang mungkin bisa diterima, tapi dalam jangka pendek. Katakanlah satu musim. Selanjutnya, apakah orang (dan seharusnya polisi) tidak curiga karena "kemampuan" Shawn muncul dengan sangat selektif, perlu didasari fakta sebelumnya dan menghasilkan kesimpulan yang bisa ditarik siapa saja yang mau berpikir. Namun, boleh jadi para tokoh lain di serial ini sengaja menutup mata karena mereka perlu perspektif yang berbeda. Kemudian, meski kombinasi Roday-Hill cukup menghibur, Roday kurang mampu membuat penonton mengidentifikasi diri dan peduli dengan sosok Shawn yang sering dimainkan terlampau gila-gilaan, ceroboh, dan seenaknya. Ada beberapa momen yang membuat saya mengeluh bareng Gus melihat tingkah Shawn, malah. Ya, seperti yang sudah saya katakan di atas, serial ini tampaknya dirancang murni untuk menghibur dan ditonton selagi senggang.

Senin, Oktober 13, 2008

Prison Break

Serial ini termasuk kasus pertama dari sederet judul serial yang DVD-nya saya sewa lantaran ingin melihat penampilan seorang bintang tamu, iseng, penasaran atau bahkan tidak sengaja, tapi kemudian berhasil membikin saya kepincut. Prison Break di Indonesia pernah ditayangkan musim pertamanya oleh AnTV, pada jam yang tumbennya cukup masuk akal. Di AS serial ini kini tengah berjalan musim keempatnya dan tampaknya masih menjadi serial yang cukup populer.

Episode awal Prison Break dibuka dengan sosok insinyur bangunan tampan, Michael Scofield (diperani Wentworth Miller dengan sorot mata tajamnya yang kalkulatif sekaligus sensitif) yang mesti mendekam di hotel prodeo Fox River setelah upayanya merampok bank dengan berbekal pistol dicegah polisi. Di penjara, Michael bertemu dengan Lincoln Burrows (Dominic Purcell), kakak satu-satunya. Rupanya, Michael sengaja memasukkan dirinya ke dalam penjara untuk membebaskan Lincoln yang akan dieksekusi sebagai hukuman atas pembunuhan adik wapres AS yang sesungguhnya tidak dilakukannya, setelah upaya legal mengalami jalan buntu. Musim pertama serial ini sepenuhnya berkutat pada upaya Michael dkk. kabur dari penjara, dinamika kehidupan penjara dan penyelidikan untuk mengungkap lapis demi lapis fakta-fakta di balik pembunuhan tersebut yang membawa mereka sampai ke konspirasi tingkat tertinggi pemerintah Amerika. Di musim kedua fokus cerita mulai agak terpencar setelah Michael dkk. (atau dijuluki Fox River Eight) berhasil melarikan diri dan menghadapi jalan yang berlainan walau senantiasa saling bersimpangan, serta tetap meneruskan elemen misteri konspirasi yang tambah rumit. Cerita berlanjut di musim ketiga, di mana Michael sekali lagi harus dapat melarikan diri (dan seperti deja vu, tambahan penumpang lainnya) dari penjara, kali ini penjara Sona di Panama yang penjagaannya ketat luar biasa, dengan Lincoln di seberang temboknya. Kemudian di musim keempat, Michael dan Lincoln bereuni dengan alumni Fox River Eight dan Sona untuk menjalankan misi mustahil: membongkar kedok dan aksi komplotan antagonis The Company (yang ternyata biang dari segala konspirasi) demi status yang terdengar sederhana: manusia bebas.

Prison Break mungkin bukan serial paling cerdas yang pernah saya tonton. Menurut saya, makin lama serial ini kian kehilangan rasa realistis dan masih banyak lubang dalam plot yang tidak tertambal dengan baik. Seperti berkendara di jalan yang penuh bekas galian kabel, bisa dijalani, tapi terasa tak mulus. Namun, drama yang disisipkan dengan manis di sela aksi, akting para aktornya yang lumayan baik, tempo dan aksi penuh ketegangan yang disajikan dalam tiap episode cukup mampu membuat mata saya tetap memelototi layar laptop (atau teve), membangkitkan rasa berdebar dan penasaran dengan kelanjutan kisahnya. Sungguh, kalau kita serius menontonnya bisa terengah-engah (paling tidak secara mental) lantaran adegan demi adegan terus mengalir rapi dengan kisah yang bergulir cepat, dinamis dan menegangkan. Soal ketegangan ini saya sempat berpikir apakah penulis skenario Prison Break kenal dengan Raam Punjabi yang bikin sinetron Tersanjung. Apa pasal? Ya, karena adegan "nyaris-nyaris ketahuan yang berbahaya" dalam Prison Break mengingatkan saya pada Tersanjung yang menerapkan formula demikian (tapi dengan intensitas berlebihan sehingga bikin muak saja.

Sabtu, Agustus 30, 2008

Dark Angel


Saya merasa diri saya seorang realis, sehingga konsekuensinya saya tidak tertarik pada segala yang berbau fiksi sains dan horor. Buat saya, dua genre tersebut termasuk nanggung. Nyata tidak, tidak nyata juga tidak. Jadi, saya mesti mengakui bahwa saya adalah korban pikatnya Jensen Ackles tatkala saya membeli DVD dua musim serial Dark Angel, setelah saya menggandrungi Supernatural, yang notabene juga dibintangi olehnya. Bila Supernatural meruntuhkan sikap antihoror saya (setidaknya untuk serial itu), Dark Angel membawa saya mencicipi rasa fiksi sains yang diracik oleh James Cameron, yang sayangnya tidak bertahan lama di percaturan serial teve Amerika.

Dark Angel (atau juga dikenal sebagai James Cameron's Dark Angel) berlatar situasi di masa depan yang tak terlalu jauh dari masa serial itu diputar, sekitar tahun 2001-2002. Alkisah, tahun 2009, selusin anak kabur dari markas percobaan rahasia pemerintah AS, Manticore. Anak-anak yang melarikan diri itu bukan manusia biasa, mereka adalah manusia transgenik hasil rekayasa genetik yang diracik di laboratorium dengan segala keunggulan untuk dijadikan prajurit super, senjata berupa manusia. Salah satu dari yang kabur itu adalah Max (atau nama tandanya X5-452, bisa dikenali dari kode bar di tengkuknya), diperankan oleh Jessica Alba. Dark Angel adalah kisahnya, bagaimana dia dan para transgenik (yang berhasil lolos dari Manticore) mesti kucing-kucingan. Pertama dengan pihak Manticore yang ingin menawan kembali mereka, selanjutnya dengan manusia biasa yang telanjur menganggap transgenik aneh dan berbahaya. Max juga bertemu Logan Cale (Michael Weatherly) yang punya alter ego Eyes Only, sosok yang senantiasa berupaya memperjuangkan keadilan di dunia yang kian suram. Keduanya lantas berjuang bersama dan menjalin kasih. Sederet tokoh sampingan juga memeriahkan serial ini, seperti bos Max yang sok galak, Normal (J.C. MacKenzie), teman sekamar Max yang setia, Original Cindy (Valarie Rae Miller), rekan kerja Max, Sketchy (Richard Gunn) plus transgenik manusia-anjing, Joshua (Kevin Durand). Lha, Jensennya mana? Dia masuk di musim kedua sebagai Alec (X5-494), yang meski awalnya menjebak Max, tapi ujung-ujungnya jadi comrade in arms.

Serial fiksi sains ini menawarkan cerita tentang petualangan para transgenik (dan teman-temannya) dengan latar yang unik, kota Seattle tahun 2019-2020, suatu era setelah Amerika diserang teroris dengan gelombang elektromagnetik yang merontokkan semua sistem yang pernah dimiliki negara itu. Seattle yang digambarkan dalam Dark Angel bukanlah metropolitan futuristik seperti yang kita bayangkan, tetapi kota kumuh, kusut, kacau, miskin, dan diawasi dengan represif dan curiga. Kota di mana hukum rimba lebih kerap berlaku. Dark Angel mencoba menghadirkan gambaran yang mungkin tentang Amerika, yang malah jadi mundur alih-alih maju. Kemudian, di sisi cerita, sebenarnya ide yang dimunculkan menarik, tapi eksekusinya tidak selalu demikian. Kadang, setting dan plot yang ada kurang ditunjang oleh akting para artisnya. Jessica Alba saya rasa kurang dalam mengeksplorasi karakter Max yang sesungguhnya cukup kuat. Sebaliknya, meski karakternya agak membosankan, Michael Weatherly berakting wajar. Untung ada tambahan Jensen Ackles dan Kevin Durand di musim kedua. Selain menghembuskan nafas komedi di serial yang cenderung gelap ini, keduanya memainkan karakter yang menyegarkan. Serial ini seperti yang sudah saya sebut di awal memang hanya bertahan dua musim, kemungkinan disebabkan masalah rating dan anggaran. Dan episode finalnya pun masih mengandung tanda tanya besar, pertanyaan yang bisa dijawab kalau Anda membaca novel lanjutan (dan prekuelnya) yang ditulis oleh Max Allan Collins.

Senin, Agustus 25, 2008

Supernatural


Serial paling dianggap remeh (underrated) dan serial horor yang sanggup memikat kalangan nonpenggemar horor, itu adalah dua sentimen yang kerap terdengar (atau terbaca) dilontarkan oleh fans serial Supernatural. Dan secara pribadi, saya sependapat. Saya termasuk orang yang tidak tertarik (bukan takut) bahkan buat sekedar menyenggol genre horor, tapi bisa tergila-gila pada Supernatural yang dari judulnya saja sudah jelas kental nuansa mistis-horornya. Mengapa bisa demikian? Saya kira itu ada hubungannya dengan sentimen pertama, yang mengimplikasikan kualitas Supernatural, yang lebih dari serial horor biasa.

Supernatural di Indonesia pernah ditayangkan secara stripping oleh Trans7. Dua musim secara lengkap (dan agak mengejutkan) diputar secara lengkap di stasiun teve tersebut dan kini di AS para fans tengah menanti penayangan episode pembuka musim keempat, September nanti. Tampaknya selain kelarisan serial ini di negara asalnya, faktor tema alam gaib juga yang membuat serial ini bisa diputar di sini. Sesuai dengan titelnya, serial ini menu utamanya adalah hal-hal yang seringkali tak dapat diterima akal sehat, jauh dari "normal" (bukan natural, sebenarnya), horor, gaib dan mistis. Namun, berbeda dengan sinetron (atau film) horor model Indonesia, Supernatural tidak hanya menjual cerita seram dan efek khusus. Serial ini memiliki plot yang tereksekusi dengan baik, akting pemain yang meyakinkan, drama yang menyuguhkan perkembangan dan hubungan antar karakter, serta percikan dagelan di sana-sini.

Kisah Supernatural dimulai jauh dua puluh tahun yang lalu, ketika keluarga Winchester kehilangan sosok ibu yang mati misterius. Cerita langsung melompat membawa kita pada dua dekade kemudian di mana putra bungsu Winchester, Sam (Jared Padalecki) yang mau masuk sekolah hukum dikejutkan oleh kemunculan kakaknya, Dean (Jensen Ackles). Dean butuh bantuan Sam untuk mencari ayah mereka yang hilang sejak pergi berburu makhluk gaib. Dari situlah kedua saudara yang bertolak belakang karakternya itu kemudian menjadi tim pemburu yang kompak, mengikuti jejak sang ayah. Menyelamatkan orang, memburu setan, itulah gambaran ringkas perjalanan Dean dan Sam. Namun, jalan untuk membasmi setan jahat dan membalas dendam ibu mereka amatlah berliku dan kedua bersaudara itu mesti menghadapi lebih banyak lagi tragedi dalam hidup mereka. Tragedi yang menorehkan warna gelap di jiwa mereka, yang memunculkan lebih banyak pertanyaan untuk setiap satu pertanyaan yang terjawab.

Mungkin orang menuduh alasan sebagian orang (wanita) menonton serial ini adalah karena pasangan bintang utamanya yang punya sosok begitu sedap dipandang. Namun, akting mereka ternyata tidak mengecewakan. Banyak yang beranggapan Jared dan Jensen merupakan pemeran pasangan bersaudara dengan karakter tiga dimensi yang chemistry-nya paling terasa di layar. Kemudian, Supernatural adalah serial horor dengan riset yang memadai. Sosok gaib yang ditampilkan sering merupakan legenda urban Amerika atau berdasar pada mitologi dan Injil. Maniak horor sejati mungkin akan mengkritik Supernatural kurang seram atau menggigit, itu boleh jadi karena horor dalam Supernatural bukanlah inti serial. Bagi saya, Supernatural lebih cenderung sebagai suatu serial tentang perjalanan ketimbang horor, barangkali karena sang kreator, Eric Kripke menggemari tahapan Hero's Journey-nya Joseph Campbell. Yang jelas, secara pribadi saya menyukai serial ini, yang mampu mengupas tentang keluarga dan nilai-nilai kehidupan, serta menawarkan refleksi.

Tinjauan musim keempat serial ini bisa dilihat di sini

Sabtu, Agustus 02, 2008

Friday Night Lights


Drama olahraga adalah sesuatu yang sukar saya tampik, tinjauan dengan pujian dari situs terpercaya apalagi. Maka dari itu, serial Friday Night Lights yang memenuhi dua kriteria di atas jelas menggoda buat disaksikan. Bagi Anda yang juga gemar menonton film bertema olahraga, barangkali Anda pernah mendengar film layar lebar (dibintangi antara lain oleh Billy Bob Thornton) Friday Night Lights. Serial ini memang diangkat dari film tersebut, di mana filmnya juga mengambil kisah dari buku berjudul sama. Friday Night Lights sampai sekarang baru ditayangkan dua musim dan musim ketiganya sedang dalam proses pembuatan. Serial ini sudah membuktikan kualitasnya dengan masuk dalam daftar yang dipertimbangkan untuk nominasi Emmy Award tahun ini dan dinominasikan untuk kategori kasting serial drama terbaik.

Friday Night Lights dibuka dengan gegap gempitanya penduduk Dillon, sebuah kota kecil (fiktif, tak usah dicari di peta) di Texas menyambut pertandingan perdana tim futbol SMA kesayangan mereka, Dillon Panthers. Orang-orang Dillon ini bak kena demam futbol yang sudah mentradisi, nyaris sampai tingkat obsesi malah. Tim Panthers kali ini didukung materi pemain yang cemerlang amat diharapkan bisa menjuarai kompetisi tingkat negara bagian, meski dipimpin oleh pelatih utama wajah baru Eric Taylor (Kyle Chandler). Namun, apa lacur baru pertandingan pertama asa mesti terempas lantaran gelandang (quarterback) tumpuan tim, Jason Street (Scott Porter), mengalami cedera permanen yang menjadikannya quadriplegia. Dari sinilah cerita bergulir. Pelatih Taylor harus berusaha keras mengembalikan semangat dan keperkasaan timnya, sekaligus berurusan dengan tokoh-tokoh masyarakat Dillon yang doyan ikut campur urusan melatih. Belum lagi masalah demi masalah senantiasa bermunculan, baik dari dalam tim maupun dari orang-orang signifikan mereka. Anggota tim yang menjadi tokoh utama dalam Friday Night Lights adalah Smash Williams (Gaius Charles), runningback kulit hitam penyuka rap dengan ego sebesar Texas yang beberapa kali bikin tindakan bodoh, Matt Saracen (Zach Gilford), quarterback pengganti Street, pemuda baik rada pecundang yang mesti masuk ke dalam peran tipikal gelandang futbol, dan Tim Riggins (Taylor Kitsch), pemain fullback, berandalan murung yang gemar minuman keras dan tubuh perempuan. Lyla Garrity (Minka Kelly), gadis manis bekas pacar Street, Tyra Collette (Adrianne Palicki) gadis binal yang bermimpi keluar dari Dillon, serta putri pelatih, Julie (Aimee Teegarden) juga turut meramaikan cerita. Beruntung pelatih punya istri merangkap guru BP di SMA Dillon yang cerdas dan empatik, Tami (Connie Britton yang dapat peran sama di versi film).

Kritik yang sering dilontarkan orang pada Friday Night Lights adalah sinematografi yang dibikin seperti film dokumenter atau reality show, yakni kamera tangan mengikuti pemain. Gambar yang dihasilkan memang bikin mata tidak nyaman kalau belum biasa, akan tetapi di sisi lain justru gaya demikian itulah yang menjadikan pemirsa dapat sungguh-sungguh masuk dalam kota Dillon, mengamati setiap penduduknya yang disorot dari dekat. Menyaksikan Friday Night Lights, penonton dibawa untuk merasakan setiap tetes keringat, perjuangan, air mata dan akhirnya bersorak gembira ketika Dillon menang. Dan pelajaran yang didapat memang tak cuma tentang futbol, tetapi juga mengenai hidup. Ini benar, tidak perlu mengerti futbol untuk bisa menyukai Friday Night Lights. Cerita yang mengalir dengan karakter tokoh yang kuat dan realistis merupakan kunci keberhasilan serial ini memikat penontonnya. Telinga pun ikut dimanja dengan musik latar yang digarap band instrumental rock Explosions in The Sky yang juga mengerjakan versi filmnya. Musiknya kadang mendayu, kadang menderap meningkahi adegan. Buat penyuka film bertema olahraga, tidak ada salahnya mencoba serial ini.

Jumat, Agustus 01, 2008

The Magnificent Seven


Serial yang boleh dibilang lawas ini mendapat kehormatan menjadi yang pertama saya ulas di sini. The Magnificent Seven sejatinya merupakan versi televisi dari film tahun 1960-an berjudul serupa (dibintangi antara lain oleh Yul Brynner), sementara film tersebut adalah versi barat Seven Samurai-nya Akira Kurosawa. The Magnificent Seven pernah diputar SCTV sekitar tahun 2000, dua tahun setelah penayangannya di AS. Serial dua musim ini punya riwayat yang cukup unik. Ceritanya, setelah jalan satu musim sebetulnya serial ini sempat mau dihentikan. Namun, fans fanatik serial bergenre western ini menggalang dukungan, bikin petisi dan iklan yang intinya memaksa produser dan petinggi stasiun teve untuk melanjutkan serial kesayangan mereka. Dan jadilah, The Magnificent Seven akhirnya dibuat satu musim lagi. Jadi, jangan remehkan kekuatan fans.

Episode pertama (pilot) The Magnificent Seven plotnya mirip dengan versi filmnya. Berkisah tentang tujuh pria yang diminta untuk membantu sebuah desa bertahan dari serangan orang-orang jahat. Kalau di film ceritanya putus sampai di situ, di serial tujuh orang itu malah menjadi penjaga keamanan di sebuah kota kecil (yang sepanjang serial tak pernah disebut namanya) tanpa hukum tipikal daerah barat Amerika pada masa itu setelah mereka mengesankan Hakim Federal Orin Travis. Ketujuh pria yang merupakan karakter utama serial ini adalah Chris Larabee (Michael Biehn, bintang Terminator), Vin Tanner (Eric Close, sekarang main di Without A Trace), Ezra Standish (Anthony Starke, akhir-akhir ini suka muncul sekilas di beberapa serial top seperti House), JD Dunne (Andrew Kavovit), Nathan Jackson (Rick Worthy), Buck Wilmington (Dale Midkiff, bintang Time Trax), dan Josiah Sanchez (Ron Perlman, film terbarunya Hellboy 2).

Salah satu daya tarik The Magnificent Seven adalah dinamika interaksi antara tujuh tokoh utamanya yang punya karakter berbeda dan kadang begitu kontras sampai menimbulkan potensi konflik. Coba disimak, Chris seorang pendekar berpistol yang terobsesi mencari pembunuh anak-istrinya, Buck sobatnya yang setia dan penggemar perempuan, Vin penembak jitu dan pelacak jejak yang jadi buronan atas pembunuhan yang tak dilakukannya, Ezra adalah penjudi dan artis penipu profesional, pria yang sebetulnya lebih baik dari yang tampak dari luar. Kemudian ada JD si anak bawang, Nathan yang bekas budak kini penyembuh, serta Josiah mantan pendeta yang mencari penebusan. Bisa dibilang tujuh orang itu tak ada mirip-miripnya, kecuali dalam soal menegakkan keadilan dan masa lalu yang kelam. Namun, mereka dapat menjadi satu tim yang solid bila ada situasi mengancam (yang muncul di setiap episode tentu saja).

Bagi saya, The Magnificent Seven adalah salah satu serial bergenre western terbaik yang pernah saya lihat. Karakter utama yang menarik, ramuan cerita yang memadukan drama, komedi dan aksi merupakan kekuatan serial ini. Memang di sana-sini terdapat kekurangan, seperti masalah akurasi sejarah, banyaknya tokoh utama membuat cerita kadang kurang fokus dan para pemeran yang dianggap terlalu "manis" untuk jadi koboi daerah barat era abad sembilan belas. Namun, saya pribadi dapat memaafkan kekurangan tersebut mengingat The Magnificent Seven adalah serial bagus tentang mempertahankan moral, keadilan, dan kemanusiaan di dunia yang gersang dan keras. The Magnificent Seven adalah kisah tentang jiwa yang tertempa oleh masa lalu yang keras dan berliku, yang mendambakan penebusan, yang terlengkapi dengan adanya teman sejalan. Dan kita bisa menikmati petualangan tujuh koboi itu dilatari musik orkestra yang sedap dari Elmer Bernstein, yang komposisinya untuk lagu pembuka serial ini sudah tidak asing lagi karena dipakai sebagai lagu iklan Marlboro.

Mengapa Sinetron Barat?

Ya, mengapa saya suka menonton serial Barat, memutuskan untuk menulis blog tentang itu, apa saja isinya dan menamainya dengan "Sinetron Barat"?

Kesukaan saya pada serial Barat sebenarnya sudah bermula sejak saya masih kanak-kanak, ketika dahulu stasiun teve di Indonesia baru satu biji dan stasiun tersebut menayangkan Full House, Fun House, Little House on The Prairie, dan Bonanza. Kemudian, lambat laun bermunculan aneka stasiun teve swasta dan saya nikmati pula Knight Rider, Airwolf, TJ Hooker, Superboy, Time Trax, Charmed, Friends, dan sebagainya. Sampai pada suatu masa tatkala seluruh stasiun teve kehilangan akal warasnya dan membanjiri jam tayangnya dengan produk sinetron sampah, menyisakan satu-dua judul serial Barat saja yang itupun diputar pada jam-jam yang cuma orang insomnia atau jaga malam yang masih bangun. Jemu dan lelah mengkritik (atau mencaci maki) sinetron dan stasiun teve secara umum, saya pilih untuk tetap mendapatkan hiburan yang lebih berkualitas dengan menyewa saja DVD (bajakan) serial Barat yang beredar di rental. Nah, sebetulnya dalam soal DVD ini ada unsur self defense juga. Saya yang baru dibelikan pemutar DVD kesal lantaran DVD bajakan film jarang dilengkapi subtitel bahasa Inggris yang memadai, padahal keutuhan suatu karya penting bagi saya. Kala menyadari bahwa DVD serial Barat bisa dikatakan sembilan puluh persen bersubtitel baik, saya pun beralih ke sana. Dan setia sampai sekarang, sampai-sampai saat ini saya lebih paham perkembangan serial Barat ketimbang film.

Sudah saya implikasikan di atas bahwa saya menyukai serial Barat karena secara kualitas lebih baik dibandingkan sinetron lokal kita. Selain itu, saya bisa belajar mengenai kebudayaan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat di belahan dunia seberang. Menonton serial Barat juga bagus untuk belajar listening dan tentu saja memperkaya kosakata slang. Buat saya yang bisa dibilang kurang pergaulan, menyaksikan serial Barat merupakan cara saya mempelajari karakter manusia. Pendek kata, ada banyak alasan mengapa saya suka serial Barat dan setiap serial bagus yang saya tonton menyumbangkan lebih banyak alasan lagi.

Sekarang, mengapa saya lantas menulis blog tentang serial Barat? Alasannya sederhana, saya ingin kecintaan saya pada serial Barat bisa menular pada orang lain dan saya berharap saya tidak sendiri dalam hal ini. Blog ini akan berisi tinjauan tentang macam-macam serial Barat yang sudah pernah saya tonton, mungkin beberapa tulisan tentang topik yang bersangkutan. Dasar penulisan saya adalah opini retrospektif yang sangat subjektif sehingga saya tidak berharap Anda sekalian akan setuju seratus persen. Dan Anda saya undang untuk berkomentar, mengkritik dan secara umum mendiskusikan serial Barat. Terakhir, mengapa blog ini dinamai "Sinetron Barat"? Sederhana, pada dasarnya serial Barat itu juga adalah sinetron, sinema yang menggunakan media elektronik. Ia terdiri dari episode-episode, cerita yang bersambung dan ditayangkan di televisi. Cuma dibandingkan dengan sinetron kita, serial Barat lebih terencana dan realistis. Jadi, saya rasa tak keliru menjuduli blog ini "Sinetron Barat".